Senin, 27 Januari 2014

FTS: December Month, I’m Happy


 
            “Alhamdulillah…” ucapku syukur. Teringat dengan sebuah potongan arti ayat dalam Al-Qur’an, “Nikmat Allah Mana Lagi yang Engkau Dustai?” Memang benar, tidak akan mampu diriku mendustai besarnya nikmat yang diberikan Allah SWT kepadaku.
Subhannallah. Maha Suci Allah. Di penghujung tahun 2013 Masehi ini. Aku dirundung dua hal yang sering membuat perasaanku cemas. Cemas, ya cemas. Cemas maksudku, bukan cemas takut dikejar anjing gila. Namun, cemas di sini cemas gembira. Dua hal, dua pengalaman di bulan Desember memberi banyak pengalaman bagi diriku. Berawal dari pengalaman menjadi seorang pemateri di salah satu Forum Studi Islam (Islam) di Fakultas  Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas, kota Padang, Sumatera Barat.
Aku sebenarnya seorang yang takut tampil di muka umum. Namun, hari itu aku coba mengubur rasa takut tersebut. Berawal dari ajakan teman yang juga menjadi pemateri di sana. Sebut saja Rusef. Cowok berbadan dan memakai kaca mata. Ia menawariku untuk ngisi materi tentang administrasi organisasi. Ia yakin aku mampu menjadi pemateri di sana. Sebenarnya, ada rasa ingin menolak, takut tidak optimal memberikan materi nantinya. Apalagi pesertanya, mahasiswa baru yang akan menjadi kader di organisasi tersebut. Al Kahfi, itulah nama organisasi tingkat fakultas yang bergerak di bidang kerohanian Islam tersebut.
Mungkin, ia berpedoman pada dua pengalamanku yang pernah menjadi Sekretaris Umum Forum Studi Islam (FSI) yang ada di Fakultas dan di Universitas-ku. Suatu kebanggan bagiku, ia mengajakku menjadi pemateri di sana. Tanpa berpikir banyak, aku langsung memutuskan menjadi pemateri. Tekatku seakan kuat ingin mengukir sejuta pengalaman. Aku kukuh-kan jiwa ini untuk berani tampil di muka umum. Meskipun itu baru pertama bagiku. Banyak organisasi yang aku ikuti, tapi aku merasa masih sering kurang percaya diri tampil di muka umum. Aku menyadari kelemahanku. Namun, aku tidak ingin terlalu berlarut risau dengan kelemahan itu. “Aku harus bangkit, aku harus bangkit!” Kataku dalam hati.
Berawal dari tekat itu, aku temui seorang dosen yang sering datang ke wisma (asrama mahasiswa). Tempatku tinggal di kota Malin Kundang itu. Pada malam hari aku minta file-file terkait administrasi dan selanjutnya aku olah sesuai kreatifitas-ku. Hari “H” tiba, dengan cuaca tidak bersahabat aku dan Rusef pergi ke sana.
***
Ceritaku kedua, tidak kalahnya dengan kisahku yang pertama. Kali ini cerita tentang Konser Musikalisasi Puisi “Akulah Sang Raja” di penghujung tahun 2013. Tepatya tanggal 31 Desember 2013. Setelah beberapa kali latihan di ruang Indo Jati, lingkungan Taman Budaya, kota Padang. Berlatih hingga larut malam, ditemani dengan penyair handal tak menyuruti semangat-ku dan teman-teman untuk berlatih membaca puisi. Tidak seperti membaca puisi biasa, aku dilatih membaca puisi dengan gaya yang berbeda. Sebab, untuk seorang penyair dituntut bisa menampilkan karya dengan gaya yang unik dan berbeda. Aku mencoba bersyair di iringi grup musik yang pernah tampil di salah satu program acara di TVRI Sumbar. Sungguh pengalaman pertama, berlatih membaca puisi di hadapan penyair yang tidak diragukan lagi pengalamannya.
Eng, ing, eng!!! Saatnya penampilan itu tiba. Aku datang lebih awal dari waktu yang ditentukan. Berharap ada latihan terakhir. Nyatanya tidak ada. Ya, sudah.. Tidak apa-apa. Sehabis melaksanakan shalat isya, aku-pun mengganti kostum yang telah kubawa dari wisma. Berbusana batik, bercelana goyang dan sepatu lokak hitam plus kaca mata hitam menyoroti diriku di hadapan penonton yang datang. Saatnya MC memanggil namaku. Aku bersiap menuju panggung. Wah, subhannallah wal hamdulillah aku-pun tampil. Membaca puisi berjudul “Pertiwi.” Aku cukup memukau penonton. Terima kasih tuhan, terima kasih sahabat pena-ku.

Biodata:
Nama aslinya Hasan Asyhari, ia memiliki nama pena Hasan Al Faritsi. Tulisannya sudah banyak dibukukan dalam antologi bersama. Baik berupa kumpulan surat, cerpen dan puisi. Karya pertamanya berupa Antologi Cerpen “Pesona Odapus” (FAM Publishing, 2012).  Ia memiliki e-mail: asyhari_hasan@yahoo.com. Dengan facebook “Hashan Asyharii.” Untuk menghubunginya, silakan kontak nomor handphone 085272985628.

Cerpen: Si Jomblowan Muslim


           “Farid, dari mana kamu rid?” Tanya Daus dari depan toko karpet milik orangtuanya di pasar Padangpanjang.
“Dari Padang Us. Baru siap ujian tengah semester” jawabnya santai. Sembari menyandang tas laptop acer-nya.
“Sini dulu duduk, jangan buru pulang Rid!” Larang Daus bertubuh kurus itu.
“Hmm, gimana ya Us. Aku harus merapikan buku-buku yang ada di rumah.” Jawab Farid ragu.
“Hah, jangan sok rajin Rid,” bantah Daus tertawa.
“Ya, ya.. Tapi sebentar ya!” Balas Farid ragu-ragu.
Siang menjelang sore itu merekapun berbincang-bincang mengenai kuliah Farid. Maklum, Daus sangat penasaran dengan dunia kampus. Sejak lulus SMA ia tidak nyambung kuliah. Karena ingin meneruskan usaha orangtuanya berdagang karpet permadani.
Farid, seorang mahasiswa semester enam di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Padang. Ia sangat anti berpacaran. Terlebih sejak ia mulai aktif di Forum Studi Islam yang ada di kampusnya. Selama itu pula ia memahami kebaikan dan keburukan berpacaran. Memang, banyak yang naksir padanya. Tubuhnya tinggi, berbadan, wajah bersih putih dan rambut lurus sempat membuatnya menjadi gilaan para perempuan. Sempat suatu hari seorang mahasiswi yang berlain jurusan dengannya meminta Farid menjadi cowoknya. Farid sebagai lelaki normal tentu juga merasakan sentuhan dari kata-kata perempuan yang cukup merobohi imannya. Tapi bagaimanapun ia tetap menolaknya. Semampunya Farid memberikan pemahaman pada mahasiswi yang cantik dan berhijab itu.
“Rid, gimana kuliahnya?” Tanya Daus sambil menghisap sebatang rokok.
“Alhamdulillah aman-aman saja!” Jawabnya singkat.
“Oow… syukurlah kalau begitu,” Ucap Daus tawa kecil.
Semakin tertawa, semakin tampak oleh Farid kemunculan gigi coklatnya. Daus termasuk perokok aktif sejak SMA. Sebenarnya ia sudah sempat dirawat di rumah sakit khusus paru-paru. Ia sangat ngeyel sekali. Susah dibilang orangnya.
“Us, kamu gak ada niat ikut kuliah Us?” Tanya Farid sedikit menggeser tempat duduknya. Asap rokok terus mengempuli Farid. Terpaksa ia geser perlahan kursi merah plastik yang ia duduki.
“Sebenarnya ada, tapi kadang ingin dagang aja, hehe..” Balasnya.
“Ya, sudah kalau begitu. Yang penting kamu fokusin aja sama dagang ini. Banyak juga toh orang yang gak kuliah juga berhasil. Nabi Muhammad kita aja gak ada pake kuliah-kuliahan. Tapi berkat izin Allah swt, ia berhasil juga dalam berdagang.” Pesan Farid seperti seorang ustadz.
“Iya Rid, mohon do’anya saja,” ucap daus senyum.
“Aamiin…” Farid tersenyum.
***
Tiba-tiba di depan toko Daus, lalu lalang cewek-cewek cantik. Daus orangnya ganjen banget. Sampai-sampai ia bersiur keras.
“Swiit, swiit…”
“Switt, switt…” Siuran Daus dari dalam tokonya.
“Ceweknya mantap coy!!” Kata Daus pada Farid.
“Iya…” Jawab Farid.
“Ahai… kok singkat gitu jawabnya. Jangan… jangan kamu…!!” ucap Daus curiga.
“Jangan, jangan apa Us??“ Tanya Farid seperti takut diketawain.
“Jangan, jangan kamu gak normal Rid!” Balasnya tawa kecil.
“Ha, ha.. Gak normal kenapa Us? Aku normal kok, buktinya di kampus banyak cewek yang gila-gilaan sama aku.” Ucap Farid yakin.
“Oh iya? Terus kenapa kamu juga belum punya pacar Rid? Kamu gagah Rid, pasti banyak yang ingin sekali sama kamu. Berbeda denganku yang hitam langsat, kurus lagi!” Kata Daus puji Farid dan juga mencela dirinya sendiri.
“Pacaran itu gak ada gunanya Us, malah bikin kita rugi.” Terangnya.
“Rugi kenapa?” Tanyanya balik.
“Ya, coba bayangkan! Kalo malam minggu mau diajak ke mana? biasanya ke kafe, nonton ke bioskop. Itu butuh berapa duit coy?? Emang uang dari orangtua kita gunain untuk itu apa?? Itu rugi dari segi materi. Kalau dari segi waktu, tenaga banyak lagi Us ruginya. Yang jelas gak ada untungnya berpacaran Us” Jelas Farid meyakinkan Daus.
“Ha, ha… Namanya pacaran harus berkorban Rid. Gak pacaran aja kamu sama pohon?” Tawa Daus bikin kesal Farid.
“Ya, sudah Us. Semakin banyak kita berdebat. Semakin banyak yang salah. Aku pulang dulu, Ibu sudah sms (short message service).” Izin Farid keluar dari toko Daus.
“Oke, besok ke sini lagi ya!” Kata Daus.
“Insya Allah!” Jawab Farid senyum.
***
“Assalamu’alaikum,..” Ucap Farid sambil membuka pintu depan rumah.
“Oow.. Farid. Udah pulang nak!” Sambut Ibunya dari dapur.
“Udah bu.” Balasnya.
“Ayah dan adik-adik mana bu?” tanya Farid.
“Coba lihat di ruang tengah nak!” Suruh Ibunya.
“Tidak ada bu!” Katanya.
“Oow, iya. Ibu lupa. Ayah dan adik-adik pergi menjenguk Ibu Saudah yang sedang sakit.” Ucap Ibu.
Ibu Saudah merupakan adik dari ayah Farid. Ia memiliki dua orang anak. Kedua-duanya cewek. Mendengar ucapan Ibu tadi, Farid langsung melaju ke sana. Tak peduli, tidak ada motor. Ia bersikukuh tetap pergi. Ibu Saudah sering memberinya uang untuk ongkos ke Padang.
“Ibu, Farid ke rumah Ibu Saudah juga ya bu.” Pinta Farid.
“Iya nak, hati-hati ya. Tapi motor dibawa ayah.” Balas Ibunya.
“Tidak apa-apa bu!” Ucapnya senyum.
Beberapa menit kemudian, Farid sampai di rumah ibu Saudah. Rumahnya tidak terlalu jauh. Berjalan saja bisa menuju rumah Ibu Saudah. Ibu Farid sebenarnya tadi pagi juga sudah ke sana. Karena mau masak sambal, Ayah dan adik-adiknya saja yang pergia siang itu.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam…Ooh, Farid! Kapan pulang Rid?” Sambut Icha.
“Tadi jam 3 Cha.” Ucapnya.
“Iya, duduk dulu. Sebentar ini ayah dan adik-adik Farid ke sini. Sekarang ia pergi ke pasar katanya. Ada yang mau dibeli.” Kata Icha.
““Iya, tadi ibu juga bilang cha.” Jawab Farid.
“Oh ya, ngomong-ngomong gimana kuliahnya? Udah punya pacar belum? He… he…” Tanyanya canda.
“Alhamdulillah lancar Cha. Hmm, pacar?? Jangan ditanya Cha. He.. he..” Balasnya santai.
“Kenapa gitu Rid?” Tanya Icha.
“Gak apa-apa Cha, aku mau fokus kuliah dulu. Pacar ntar nyusul aja.” Katanya.
“Ya, rugi kalau orang segagah kamu gak punya pacar?”
“Rugi kenapa? Malah aku merasa senang sekali. Dalam agama-pun kita dilarang pacaran Cha. Sebab mengarah pada zina.” Ucapnya.
“Zina kenapa Rid? Kita kan gak ngelakuin hal-hal aneh!” Balasnya.
“Iya, Zina.. secara tidak langsung nafsu kita udah menjurus pada itu Cha. Banyak dari hal-hal yang biasa menjadi luar biasa. Awalnya temanan, lihat-lihatan wajah dan ujung-ujungnya hamil Cha. Na’uzubillah!” Tangkas Farid
“Haha, Iya. Iya Pak Ustadz” Balas Icha memuji.
“O, iya.. Ibu Saudah mana cha?” Tanyanya.
“Ibu ada di dalam kamar Rid. Masuk aja!” Suruhnya.
“Ibu, gimana kabar Bu?” Tanya Farid rusuh.
“Alhamdulillah udah mendingan Rid. Kemarin sempat dirwat karena sakit mag. Kapan pulang Rid? ”
“Alhamdulillah kalau begitu bu! Tadi siang bu, Farid pulangnya.” Balas Farid.  


Biodata:
Nama aslinya Hasan Asyhari, ia memiliki nama pena Hasan Al Faritsi. Tulisannya sudah banyak dibukukan dalam antologi bersama. Baik berupa kumpulan surat, cerpen dan puisi. Karya pertamanya berupa Antologi Cerpen “Pesona Odapus” (FAM Publishing, 2012).  Ia memiliki e-mail: asyhari_hasan@yahoo.com. Dengan facebook “Hashan Asyharii.” Untuk menghubunginya, silakan kontak nomor handphone 085272985628.


Jumat, 29 Maret 2013

Cerpen: Desiran Saluang di Ibukota (Hasan Asyhari)


            Sang surya pagi itu agak malu menampakkan rupanya. Bunyi saluang terus mendesir kencang mengiringi kicau burung gereja di sudut nagari Batipuah Baruah, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Sebuah rumah kecil menjadi pojok perhatian warga. Daun singkong menghiasi rumah itu. Di depannya berdiri sebuah kedai gorengan yang selalu ramai tiap paginya. Keramaian pagi itu dipenuhi dengan lalu lalang ibu-ibu yang hendak bertanam benih padi menuju hamparan sawah. Bunyi desiran saluang tadi terus menuju hamparan sawah hendak melirik petani yang akan memulai pekerjaan pagi itu.
            “Nek, Alung ingin ke Jakarta nek!” Ucap Alung sembari memberikan secerek air putih dari rumah. Sang nenek pun penasaran. 
            “Ngapain ke sana Lung?” Tanya nenek yang sering sakit-sakitan itu.
            “Ke Jakarta nek. Alung di ajak sama om Robi berjualan pakaian anak-anak di sana.” Balasnya yakin.
            “Ya, nanti kita diskusikan di rumah ya nak!” Tangkas nenek Rainah.
            Alung adalah satu-satunya cucu nenek Rainah. Ia tak tamat sekolah menengah atas. Kedua orangtuanya sudah meninggal dunia sejak ditimpa longsor satu tahun yang lalu. Almarhum ayahnya jago main saluang. Bakat inilah yang membuat Alung menyenangi saluang. Ke mana pergi selalu di bawanya. Apalagi mendiang ayahnya pernah berpesan agar saluang ini senantiasa ia perkenalkan dengan para perantau minang yang sudah mulai lupa dengan warisan budayanya sendiri.
***
            Malam pun tiba, nenek Rainah sudah berada di rumah. Pembicaraan tadi pagi hendak mereka lanjutkan.  
            “Nek, melanjuti pembicaraan saat di sawah tadi nek. Apakah Alung boleh ke Jakarta nek? Alung ingin membantu nenek. Tak ingin melihat tubuh nenek yang sudah mulai kurus ini bertambah kurus lagi. Izinkan Alung ya nek!” Pinta Ali.
            “Ya, nenek tergantung dengan Alung saja. Mana yang terbaik untuk Alung silahkan dilakukan. Namun, jangan sampai terpengaruh dengan pergaulan bebas di sana ya nak.” Izin nenek Rainah sambil melipat helai demi helai selendang yang baru siap dijemurnya pagi tadi.
            “Insya Allah nek,” balas Alung senang. Alung adalah anak yang patuh. Tak pernah terlontar kata kasar dimulutnya. Ia seorang anak yang tahu diri. Nenek Rainah sudah ia anggap seperti ibu kandungnya sendiri. Namun, dibalik itu nenek Rainah tak mengetahui bahwa Alung memiliki niat tersembunyi. Ia ingin memperkenalkan saluang ini di ibu kota terutama ke perantau minang. Sungguh niat mulia. Tak semua pemuda yang seperti dirinya. Ia ingin memperkenalkan kebudayaan minang yang sudah mulai dilupakan para perantau minang di ibu kota.
***
            Keesokan harinya, Alung, om-nya Robi dan Robi bersiap-siap menuju terminal bus. Sebelum pergi tak lupa do’a restu dari sang nenek ia minta.
            “Nek, do’ain Alung di Jakarta ya nek.” Pintanya haru.
            “Iya, tentu Alung. Do’a nenek menyertaimu nak.” Balas nenek Rainah sambil memeluk cucunya.
            Setelah itu, merekapun pergi ke terminal. Terkais-kais kaki mereka menuju tempat yang penuh gemercak sepoian tingkah manusia itu. Saatnya mereka berangkat ke ibu kota. Jakarta menjadi tempat peraduan Alung. Serta menjadi tempat ia memperjuangkan saluang dengan cara memperkenalkan kembali alat musik tradisional minang yang sudah mulai dilupakan anak muda perantau minang.   
            Di atas bus itu penuh akan penumpang yang bakal mengadu nasib ke ibu kota. Suasana demikian mengingatkannya pada masa ketika ia diajak mendiang ayahnya ke Medan waktu masih bersekolah dulu. Tapi, apa daya semua tinggal kenangan.
             Alhamdulillah beberapa hari di atas mobil, akhirnya sampai juga ia di Jakarta. Bau keringat selama berkendaraan sempat memperkeruh suasana hati. Sempat ia marah, gara-gara saluang yang di sandangnya dibilang kuno oleh seorang preman saat ia berjalan menuju rumah paman Robi.
***
            Bunyi desiran saluang terdengar indah. Kali ini Alung memainkan saluang di teras depan rumah om-nya Robi. Bak suasana desa yang damai. Menyejukkan suasana hati. Bunyi desiran saluang itu berasal dari tiap lobang saluang yang sempat memukau perhatian ibu-ibu yang lalu lalang pergi ke pasar. Tiba-tiba seorang ibu hendak mendekati rumah paman Robi.
            “Wah, indah sekali bunyi suara itu.”  Pujinya dalam hati.
            “Terima kasih buk,“ balasnya senang,
            “Kalau boleh tahu, apa namanya alat musik itu dik?” Tanyanya cepat.
            “Ini namanya saluang buk, ini adalah alat musik tiup tradisional minang buk,” ujarnya memberi tahu.
            “Oh, adik dari Padang ya?” Tanya sang ibu yang bertubuh gemuk itu.
            “Iya buk. Saya baru dua hari di sini. Mau bekerja dengan om Mursal.” Jawabnya santai.
            “Wah, baguslah dik. Banyak orang Padang merantau di sini. Namun, ibu tak pernah  jumpa pemuda yang seperti kamu. Tak sungkan memainkan alat musik tradisional budayanya sendiri. Ibu salut sama kamu dik!” Puji buk Gina nama akrabnya dipanggil tetangga.
            “Terima kasih buk.” Balas Alung memperlihatkan lesung pipinya yang begitu menawan di mata.
            Tak lama setelah itu, sang ibu pergi. Alung pun lanjut mendesirkan saluang tadi.
***
            “Baju kaos, baju kemeja, celana pendek...” Soraknya di depan pengunjung pasar yang selalu ramai di sudut kota Jakarta. Pagi menjelang siang ini adalah hari pertama ia kerja bersama Robi dan om-nya Robi. Logat bahasa Padang-nya masih menyita perhatian para pengunjung pasar yang lalu lalang setiap saat.
            “Buk, ayuk ke sini?” Bisik seorang ibu berkerudung pendek dengan teman sebayanya.
            “Ada apa Rat? “ Tanya temannya itu.
            “Adik itu lucu ya?” Tangkasnya tanya balik.
            “He he ia, masih kental bahasa Padang nya.” Jawab Leli cepat. Seperti sudah paham dengan vokal yang diucapkan Alung.
            Tak menyangka ternyata Robi sempat melirik ibu-ibu itu seperti membisikan Alung.
            “Eh Lung, sepertinya ibu-ibu itu memperhatikan kamu deh dari tadi.”
            “Ya, biar aja lah Bi...” Balas Alung. Ia tak suka mempermasalahkan sesuatu.           Azan zuhur pun berkumandang merdu di sudut pasar. Alung dan Robi pun pergi shalat ke sebuah mushalla kecil. Kedai kaki lima itu mereka tinggal sejenak demi memenuhi seruan yang Maha Kuasa.
            Setelah shalat zuhur. Alung dan Robi istirahat siang. Kemudian Alung membunyikan saluang yang selalu ia bawa. Siang nan panas melerai emosi yang semula rusuh menjadi damai. Tiap orang yang medengarkan itu terpukau. Mereka  hendak mendekati bunyi desiran saluang tadi.
            “Wah, indah sekali bunyinya dik.” Ujar seorang bapak berkaca mata hitam. Kemudian datang seorang pemuda dengan pakaian serba sempit, bertato, telinga dan hidung bertindik serta rambut berdiri bak habis di sambar petir. Alex namanya. Ia boleh dikatakan sebagai preman pasar. Hampir tiap hari ia merampas para pembeli di pasar. Tak bisa dihitung lagi jumlah penangkapannya oleh polisi pamong praja.
            “Woi, cemen... musik apaan itu lu bro??” Cercanya kasar.
            “Ini alat musik tradisional dari Padang kawan.” Balas Alung santai.
            “Haaaa......haaaa......masih kuno lu bro....cemen buat lho!” Cercanya lagi.
            “Biar saja kuno. Saya akan buktikan alat musik ini tak akan pernah tinggal akan zaman.” Ungkapnya yakin.
            “Ha, Ha.. cemen banget lu bro. Masak alat segede ituan masih dipelihara.” Sindirnya membuat batin Alung terusik.
            “Diam kau!!” Tangkas Alung marah. Jarang-jarang ia marah pada orang lain. Apalagi orang itu tidak pernah ia kenal sama sekali.
            Sempat terjadi perang mulut antara mereka. Namun, Alung masih tetap yakin. Saluang itu akan ia pertahankan. Sesuai dengan niatnya ke ibu kota itu. Ia akan memperkenalkan dan mengajarkan saluang terkhusus pada remaja-remaji perantau asal minang.
***
            Beberapa hari kemudian. Alung berjumpa dengan seorang bapak bertubuh pendek sembari membawa macam bentuk sandal dan sepatu. Benda-benda itu berada di sebuah kotak lumayan besar. Sepeda motor yang sudah agak ketinggalan zaman mewarnai penglihatan Alung.
            Kemudian mereka pun berbincang sejenak melepas kepenatan berjalan seusai kerja. Bapak yang sudah hampir tiga puluh tahun lalang buana di kota Jakarta. Ia mengetahui seluruh tempat-tempat bermukim kebanyakan tiap suku bangsa. Terutama suku bangsa minang. Penduduknya ulet berdagang. Itu yang membuatnya tertarik dengan penduduk negeri rendang ini. Kemudian, bapak itu menemani Alung ke tempat yang ingin ia tuju itu.
            Keesokan harinya, bertemankan sebatang saluang bambu ia melangkahkan kaki ke kawasan itu. Lalu ia tiup saluang itu. Desiran saluang itu melirik para masyarakat ke luar dari rumah. Bak orang menjual obat. Badannya yang kurus dan bertubuh tinggi menjadi objek penglihatan orang-orang di sana.
            “Wah, ado saluang di siko. Wah, Ada seruling di sini.” Ucap seorang bapak tua. Kemudian berbondongan orang keluar rumah saat itu. Tiap orang ada yang tahu dengan saluang yang dibunyikan Alung. Namun, ada pula yang tercengang. Tak tahu sama sekali.
            “Wah, ayah itu alat musik apa yah?” Tanya sang anak.
            “Ayah gak tahu nak.” Jawab sang ayah senyum malu.
            Kemudian Alung memperkenalkan saluang itu. Lalu ia ajarkan pada mereka cara meniup saluang itu. Kebanyakan di sana perantau yang berpuluh-puluh tahun di Jakarta dan adapula yang cuma keturunan minang saja. Begitulah cara Alung memperjuangkan saluang pada perantau minang di ibu kota. Meskipun ada yang menerima dan ada yang menolak.
***
                                                                                    Padangpanjang-Padang, Februari 2013
Istilah  :
Saluang: seruling. Alat musik tradisional tiup minangkabau.

BIODATA
Hasan Asyhari namanya. Cowok yang lahir di kota Padangpanjang, 27 Februari 1992 ini merupakan anak pasangan dari Sudirman, BA dan Dra.Yasmaida. Kedua orangtuanya adalah   guru di dua podok pesantren modern terkemuka di kota Padangpanjang. Ia merupakan mahasiswa jurusan Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial UNP tahun masuk 2010. Selain kuliah ia aktif di Unit Kegiatan Kerohanian (UKK) UNP  dan IMAPABASKO (Ikatan Mahasiswa Padangpanjang, Batipuah, X Koto) sebagai Wakil Ketua Umum. Hasan sapaan akrabnya merupakan salah satu Cerpenis Muda Indonesia dalam buku Antologi Cerpen Cinta Bernilai Dakwah terbitan FAM Publishing, Kediri, Jatim. Berbagai iven kepenulisan sering ia ikuti.  Hasan yang memiliki motto,”Kesuksesan Besar berawal dari Kesuksesan Kecil”. Untuk mengenal lebih akrab dengannya bisa menghubungi nomor HP 085272985628 dan fb HASHAN ASYHARI. Dan alamat rumahnya di Desa Baru No.23 RT.14 Kel. Tanah Hitam, Kec.Padangpanjang Barat, Kota Padangpanjang, Sumbar 27112. (HASAN ASYHARI, FAM944M, Padangpanjang)