Sang
surya pagi itu agak malu menampakkan rupanya. Bunyi saluang terus mendesir kencang mengiringi kicau burung gereja di sudut
nagari Batipuah Baruah, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Sebuah rumah
kecil menjadi pojok perhatian warga. Daun singkong menghiasi rumah itu. Di
depannya berdiri sebuah kedai gorengan yang selalu ramai tiap paginya.
Keramaian pagi itu dipenuhi dengan lalu lalang ibu-ibu yang hendak bertanam
benih padi menuju hamparan sawah. Bunyi desiran saluang tadi terus menuju hamparan sawah hendak melirik petani yang
akan memulai pekerjaan pagi itu.
“Nek,
Alung ingin ke Jakarta nek!” Ucap Alung sembari memberikan secerek air putih
dari rumah. Sang nenek pun penasaran.
“Ngapain
ke sana Lung?” Tanya nenek yang sering sakit-sakitan itu.
“Ke
Jakarta nek. Alung di ajak sama om Robi berjualan pakaian anak-anak di sana.”
Balasnya yakin.
“Ya,
nanti kita diskusikan di rumah ya nak!” Tangkas nenek Rainah.
Alung
adalah satu-satunya cucu nenek Rainah. Ia tak tamat sekolah menengah atas.
Kedua orangtuanya sudah meninggal dunia sejak ditimpa longsor satu tahun yang
lalu. Almarhum ayahnya jago main saluang.
Bakat inilah yang membuat Alung menyenangi saluang. Ke mana pergi selalu di bawanya. Apalagi mendiang ayahnya pernah
berpesan agar saluang ini senantiasa ia perkenalkan dengan para perantau minang
yang sudah mulai lupa dengan warisan budayanya sendiri.
***
Malam
pun tiba, nenek Rainah sudah berada di rumah. Pembicaraan tadi pagi hendak mereka
lanjutkan.
“Nek,
melanjuti pembicaraan saat di sawah tadi nek. Apakah Alung boleh ke Jakarta nek?
Alung ingin membantu nenek. Tak ingin melihat tubuh nenek yang sudah mulai
kurus ini bertambah kurus lagi. Izinkan Alung ya nek!” Pinta Ali.
“Ya,
nenek tergantung dengan Alung saja. Mana yang terbaik untuk Alung silahkan
dilakukan. Namun, jangan sampai terpengaruh dengan pergaulan bebas di sana ya
nak.” Izin nenek Rainah sambil melipat helai demi helai selendang yang baru
siap dijemurnya pagi tadi.
“Insya
Allah nek,” balas Alung senang. Alung adalah anak yang patuh. Tak pernah
terlontar kata kasar dimulutnya. Ia seorang anak yang tahu diri. Nenek Rainah
sudah ia anggap seperti ibu kandungnya sendiri. Namun, dibalik itu nenek Rainah
tak mengetahui bahwa Alung memiliki niat tersembunyi. Ia ingin memperkenalkan
saluang ini di ibu kota terutama ke perantau minang. Sungguh niat mulia. Tak semua
pemuda yang seperti dirinya. Ia ingin memperkenalkan kebudayaan minang yang
sudah mulai dilupakan para perantau minang di ibu kota.
***
Keesokan
harinya, Alung, om-nya Robi dan Robi bersiap-siap menuju terminal bus. Sebelum
pergi tak lupa do’a restu dari sang nenek ia minta.
“Nek,
do’ain Alung di Jakarta ya nek.” Pintanya haru.
“Iya,
tentu Alung. Do’a nenek menyertaimu nak.” Balas nenek Rainah sambil memeluk
cucunya.
Setelah
itu, merekapun pergi ke terminal. Terkais-kais kaki mereka menuju tempat yang
penuh gemercak sepoian tingkah manusia itu. Saatnya mereka berangkat ke ibu
kota. Jakarta menjadi tempat peraduan Alung. Serta menjadi tempat ia
memperjuangkan saluang dengan cara
memperkenalkan kembali alat musik tradisional minang yang sudah mulai dilupakan
anak muda perantau minang.
Di
atas bus itu penuh akan penumpang yang bakal mengadu nasib ke ibu kota. Suasana
demikian mengingatkannya pada masa ketika ia diajak mendiang ayahnya ke Medan
waktu masih bersekolah dulu. Tapi, apa daya semua tinggal kenangan.
Alhamdulillah beberapa hari di atas mobil,
akhirnya sampai juga ia di Jakarta. Bau keringat selama berkendaraan sempat
memperkeruh suasana hati. Sempat ia marah, gara-gara saluang yang di sandangnya dibilang kuno oleh seorang preman saat
ia berjalan menuju rumah paman Robi.
***
Bunyi
desiran saluang terdengar indah. Kali
ini Alung memainkan saluang di teras
depan rumah om-nya Robi. Bak suasana desa yang damai. Menyejukkan suasana hati.
Bunyi desiran saluang itu berasal dari
tiap lobang saluang yang sempat
memukau perhatian ibu-ibu yang lalu lalang pergi ke pasar. Tiba-tiba seorang
ibu hendak mendekati rumah paman Robi.
“Wah,
indah sekali bunyi suara itu.” Pujinya
dalam hati.
“Terima
kasih buk,“ balasnya senang,
“Kalau
boleh tahu, apa namanya alat musik itu dik?” Tanyanya cepat.
“Ini
namanya saluang buk, ini adalah alat musik tiup tradisional minang buk,” ujarnya
memberi tahu.
“Oh,
adik dari Padang ya?” Tanya sang ibu yang bertubuh gemuk itu.
“Iya buk. Saya
baru dua hari di sini. Mau bekerja dengan om Mursal.” Jawabnya santai.
“Wah,
baguslah dik. Banyak orang Padang merantau di sini. Namun, ibu tak pernah jumpa pemuda yang seperti kamu. Tak sungkan
memainkan alat musik tradisional budayanya sendiri. Ibu salut sama kamu dik!” Puji
buk Gina nama akrabnya dipanggil tetangga.
“Terima
kasih buk.” Balas Alung memperlihatkan lesung pipinya yang begitu menawan di mata.
Tak
lama setelah itu, sang ibu pergi. Alung pun lanjut mendesirkan saluang tadi.
***
“Baju
kaos, baju kemeja, celana pendek...” Soraknya di depan pengunjung pasar yang
selalu ramai di sudut kota Jakarta. Pagi menjelang siang ini adalah hari
pertama ia kerja bersama Robi dan om-nya Robi. Logat bahasa Padang-nya masih
menyita perhatian para pengunjung pasar yang lalu lalang setiap saat.
“Buk,
ayuk ke sini?” Bisik seorang ibu berkerudung pendek dengan teman sebayanya.
“Ada
apa Rat? “ Tanya temannya itu.
“Adik
itu lucu ya?” Tangkasnya tanya balik.
“He
he ia, masih kental bahasa Padang nya.” Jawab Leli cepat. Seperti sudah paham
dengan vokal yang diucapkan Alung.
Tak
menyangka ternyata Robi sempat melirik ibu-ibu itu seperti membisikan Alung.
“Eh
Lung, sepertinya ibu-ibu itu memperhatikan kamu deh dari tadi.”
“Ya,
biar aja lah Bi...” Balas Alung. Ia tak suka mempermasalahkan sesuatu. Azan zuhur pun berkumandang merdu di
sudut pasar. Alung dan Robi pun pergi shalat ke sebuah mushalla kecil. Kedai
kaki lima itu mereka tinggal sejenak demi memenuhi seruan yang Maha Kuasa.
Setelah
shalat zuhur. Alung dan Robi istirahat siang. Kemudian Alung membunyikan saluang yang selalu ia bawa. Siang nan
panas melerai emosi yang semula rusuh menjadi damai. Tiap orang yang
medengarkan itu terpukau. Mereka hendak
mendekati bunyi desiran saluang tadi.
“Wah,
indah sekali bunyinya dik.” Ujar seorang bapak berkaca mata hitam. Kemudian
datang seorang pemuda dengan pakaian serba sempit, bertato, telinga dan hidung
bertindik serta rambut berdiri bak habis di sambar petir. Alex namanya. Ia
boleh dikatakan sebagai preman pasar. Hampir tiap hari ia merampas para pembeli
di pasar. Tak bisa dihitung lagi jumlah penangkapannya oleh polisi pamong
praja.
“Woi,
cemen... musik apaan itu lu bro??” Cercanya kasar.
“Ini
alat musik tradisional dari Padang kawan.” Balas Alung santai.
“Haaaa......haaaa......masih
kuno lu bro....cemen buat lho!” Cercanya lagi.
“Biar
saja kuno. Saya akan buktikan alat musik ini tak akan pernah tinggal akan
zaman.” Ungkapnya yakin.
“Ha,
Ha.. cemen banget lu bro. Masak alat segede ituan masih dipelihara.” Sindirnya
membuat batin Alung terusik.
“Diam
kau!!” Tangkas Alung marah. Jarang-jarang ia marah pada orang lain. Apalagi
orang itu tidak pernah ia kenal sama sekali.
Sempat
terjadi perang mulut antara mereka. Namun, Alung masih tetap yakin. Saluang itu akan ia pertahankan. Sesuai
dengan niatnya ke ibu kota itu. Ia akan memperkenalkan dan mengajarkan saluang
terkhusus pada remaja-remaji perantau asal minang.
***
Beberapa
hari kemudian. Alung berjumpa dengan seorang bapak bertubuh pendek sembari
membawa macam bentuk sandal dan sepatu. Benda-benda itu berada di sebuah kotak lumayan
besar. Sepeda motor yang sudah agak ketinggalan zaman mewarnai penglihatan
Alung.
Kemudian
mereka pun berbincang sejenak melepas kepenatan berjalan seusai kerja. Bapak
yang sudah hampir tiga puluh tahun lalang buana di kota Jakarta. Ia mengetahui
seluruh tempat-tempat bermukim kebanyakan tiap suku bangsa. Terutama suku
bangsa minang. Penduduknya ulet berdagang. Itu yang membuatnya tertarik dengan
penduduk negeri rendang ini. Kemudian, bapak itu menemani Alung ke tempat yang
ingin ia tuju itu.
Keesokan
harinya, bertemankan sebatang saluang
bambu ia melangkahkan kaki ke kawasan itu. Lalu ia tiup saluang itu. Desiran saluang itu melirik para masyarakat ke
luar dari rumah. Bak orang menjual obat. Badannya yang kurus dan bertubuh
tinggi menjadi objek penglihatan orang-orang di sana.
“Wah,
ado saluang di siko. Wah, Ada
seruling di sini.” Ucap seorang bapak tua. Kemudian berbondongan orang keluar
rumah saat itu. Tiap orang ada yang tahu dengan saluang yang dibunyikan Alung. Namun, ada pula yang tercengang. Tak
tahu sama sekali.
“Wah,
ayah itu alat musik apa yah?” Tanya sang anak.
“Ayah
gak tahu nak.” Jawab sang ayah senyum malu.
Kemudian
Alung memperkenalkan saluang itu. Lalu ia ajarkan pada mereka cara meniup
saluang itu. Kebanyakan di sana perantau yang berpuluh-puluh tahun di Jakarta
dan adapula yang cuma keturunan minang saja. Begitulah cara Alung
memperjuangkan saluang pada perantau
minang di ibu kota. Meskipun ada yang menerima dan ada yang menolak.
***
Padangpanjang-Padang,
Februari 2013
Istilah :
Saluang: seruling. Alat musik
tradisional tiup minangkabau.
BIODATA
Hasan
Asyhari namanya. Cowok yang lahir di kota Padangpanjang, 27 Februari 1992 ini
merupakan anak pasangan dari Sudirman, BA dan Dra.Yasmaida. Kedua orangtuanya
adalah guru di dua podok pesantren
modern terkemuka di kota Padangpanjang. Ia merupakan mahasiswa jurusan
Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial UNP tahun masuk 2010. Selain kuliah ia aktif
di Unit Kegiatan Kerohanian (UKK)
UNP dan IMAPABASKO (Ikatan Mahasiswa
Padangpanjang, Batipuah, X Koto) sebagai Wakil Ketua Umum. Hasan sapaan
akrabnya merupakan salah satu Cerpenis Muda Indonesia dalam buku Antologi
Cerpen Cinta Bernilai Dakwah terbitan FAM Publishing, Kediri, Jatim.
Berbagai iven kepenulisan sering ia ikuti.
Hasan yang memiliki motto,”Kesuksesan Besar berawal dari Kesuksesan
Kecil”. Untuk mengenal lebih akrab dengannya bisa menghubungi nomor HP
085272985628 dan fb HASHAN ASYHARI. Dan alamat rumahnya di Desa Baru No.23
RT.14 Kel. Tanah Hitam, Kec.Padangpanjang Barat, Kota Padangpanjang, Sumbar
27112. (HASAN ASYHARI, FAM944M,
Padangpanjang)